Hot News

Kontras Meminta Polisi Lebih Perhatikan Kode Etik

Foto: Istimewa/net.


Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta Polri dan jajaran penegak hukum lainnya untuk segera mengambil tindakan yang signifikan dan progressif untuk mencegah dan memulihkan kasus-kasus demi kasus yang direkayasa. Putusan Mahkamah Agung akhir-akhir ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi dalam melakukan penyidikan masih mengandalkan pengakuan korban atau pelaku dengan cara-cara penyiksaan dan penyalahgunaan diskresi.


Dari berbagai kasus dalam catatan Kontras ada banyak petunjuk dan keterangan korban yang merujuk bahwa proses hukum yang ditangani kepolisian tidak dilakukan secara profesional, dimana masih terdapat praktek penyiksaan,  proses hukum yang tidak diimbangi dengan bukti yang menyakinkan serta tidak adanya informasi yang diberikan secara baik kepada korban maupun keluarga korban.


"Kami berkesimpulan bahwa kewenangan penegak hukum yang dimiliki oleh Polisi sering dijadikan alat yang mudah dan ampuh untuk menarget atau menjadikan seseorang sebagai pesakitan dimata hukum" Kata Kepala Divisi Advokasi dan HAM, Yati Andriani dalam laman resmi Kontras.


Menanggapi kondisi tersebut, anggota Komisi III DPR RI, Nudirman Munir menyayangkan bahwa Polri belum berhasil membenahi permasalahan substansif dalam internal korps baju cokelat. Padahal DPR berharap Kapolri baru bisa segera menegakan disiplin kode etik dalam jajarannya khususnya di daerah-daerah. "Kapolri yang baru, Jend Sutarman kan latar belakangnya intelejen, harusnya jangan cuma ngintelin orang, tapi jajarannya sendiri juga di intelin dong. Saya bilang, beberapa Kapolres di daerah-daerah ini seperti raja-raja kecil. Makanya cukup marak rekayasa kasus yang ditangani oleh kepolisian ditingkat daerah" kata Nudirman saat dihubungi Selasa (21/1) siang.
  
Sebagai mitra polisi, Komisi III juga menyayangkan kinerja kepolisian yang dianggap belum menunjukan kemajuan dalam pembinaan profesionalisme anggotanya "Catatan saya di DPR, kepolisian republik Indonesia masih jalan ditempat ya, terutama dalam hal menghilangkan praktek-praktek rekayasa kasus," tambahnya.

Nudirman berjanji pihaknya akan fokus menggodok undang-undang yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran kode etik dalam proses penegakan hukum, khususnya di tataran Kepolisian. "Penyebab maraknya rekayasa kasus oleh oknum polisi adalah tidak adanya sanksi yang tegas kepada penegak hukum yang terlibat pelanggaran kode etik, harusnya kan ada diatur sanksi dalam KUHP, ada di Undang-Undang, tapi tenang draft yang mengatur itu semua sudah masuk kok di Badan Legiselatif. Nanti segera, kita (Komisi III) akan menggodok aturan tersebut"  tandasnya.

Berdasarkan hasil monitoring dan pengaduan yang diterima Kontras, LSM yang bermarkas di Menteng, Jakarta Pusat ini menemukan sejumlah hal yang kerap terjadi dalam rekayasa kasus di tingkat penyidikan. Potensi rekayasa kasus umumnya terjadi pada pertama, kasus Perdata yang dijadikan kasus pidana. Kontras merujuk pada kasus hutang piutang atau pinjam meminjam menjadi penipuan, pencurian, atau penggelapan, kasus sengketa tanah masyarakat dengan perusahaan menjadi pidana pengrusakan atau penyerobotan.
  
Kemudian kasus yang terkait dengan kepemilikan narkoba, karena praktek tangkap tangan  seperti razia yang notabene cukup dengan kehadiran polisi, maka sangat rentan direkayasa. Selanjutnya pada kasus-kasus pembunuhan atau pencurian, dalam kasus ini kesalahan identifikasi pelaku berdampak pada semua proses penyidikan yang selanjutnya diduga penuh rekayasa.


Sekedar informasi, beberapa waktu lalu, dunia penegakan hukum di Indonesia sempat digegerkan dengan putusan Mahkama Agung (MA) yang kontradiktif dengan kesimpulan penyidikan pihak Kepolisian terkait kasus Rudy. Rekayasa kasus yang dilakukan penyidik Polri mencuat setelah MA memvonis bebas Rudy Santoso, seorang seles obat nyamuk atas kasus kepemilikan narkotika jenis sabu sebanyak 0,2 gram. di pengadilan negri dan tingkat banding. Rudy divonis empat tahun penjara oleh majelis hakim, namun MA memutus bebas murni karena kasusnya dianggap sarat rekayasa.
  
Dalam kesempatan terpisah, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Bambang Widodo Umar membenarkan masih adanya praktek pelanggaran kode etik dalam institusi Kepolisian khususnya pada proses interogasi (pengambilan informasi) tersangka. Selain menyayangkan hal itu, Bambang juga menyarankan agar regulasi pemerintah memasukan unsur pengawasan eksernal dalam kinerja kepolisian.  "Saya menyarankan dalam amandemen Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia  No. 2 Tahun 2002 tentang kewenangan Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional). Saya berharap Kompolnas nantinya bisa mengambil fungsi pengawasan dalam pada kinerja personil polisi di lapangan. Saya juga mendukung bila memang terdapat dugaan dalam pelanggaran kode etik di insitusi kepolisian, maka Kompolnas bisa mengambil tindakan tigas, misalnya dengan melakukan investigasi siapa oknum yang terlibat, selama ini kan belum demikian". tandas Bambang saat dihubungi Selasa (21/1) siang. 


di tulis oleh: Santo



■ Moderator : Sering Buka | Semua Bisa Menulis Apa Saja


Klik DI SINI

No comments:

Post a Comment

Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi seringbuka.com. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.


seringbuka.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.

Sering Buka Designed by Templateism.com Copyright © 2016

Powered by Blogger.