![]() |
Foto: Andi Masela. |
Yayasan Galuh didirikan oleh Gendu Mulatip yang saat ini usianya sudah 96 tahun. Ia tidak tega melihat seorang gila di arak oleh anak2 di kampungnya di Bekasi. Seorang anak kemudian melempar batu kecil ke arah orang gila tersebut yang kemudian dilempar kembali olehnya hingga mengakibatkan luka. Orang tuanya yang tidak terima anaknya dilukai oleh pesakitan tersebut ingin membalas, tapi niatnya dibatalkan setelah Gendu menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Ia kemudian membawa orang tersebut ke rumah untuk dirawat dan akhirnya bisa disembuhkan.
Sejak saat itu Gendu mulai dikenal sebagai orang yang bisa mengobati penyakit mental dan satu persatu pasiennya mulai berdatangan hingga rumahnya tidak tertampung lagi. Itulah awal mula berdirinya Yayasan Galuh, yang artinya “gagasan leluhur” sebuah panti rehabilitasi cacat mental yang bertujuan untuk memerdekakan manusia dari penyakit psikosomatis. Lokasi panti ini berada di daerah Rawa Lumbu, tepatnya di Kampung Sepatan Gg. Bambu Kuning, Sepanjang, Bekasi. Dulunya beralamat di Kampung Poncol Margahayu Bekasi, namun sejak tahun 2007 kemudian dipindahkan ke lokasi yang ditempati sekarang karena tanahnya akan digunakan sebagai gardu listrik oleh PLN.
Saat ini menampung 279 orang pasien yang terdiri dari 178 lelaki termasuk empat orang anak2 dan sisanya perempuan. Hartono dan para staf dengan sukarela menampung para pasien yang seringkali mereka temukan di jalanan selain titipan dari instansi kepolisian, RS Umum Bekasi, dan orang2 yang membawa anggota keluarga yang terkena gangguan kejiwaan. Tidak semua pasien adalah orang2 terlantar, banyak di antara mereka justru punya penghidupan yang berkecukupan dan beberapa adalah tokoh masyarakat. Pencetus masalah kejiwaan mereka biasanya bersumber dari tekanan hidup seperti PHK, putus cinta, cita2 yang tidak kesampaian dan genetis serta narkoba. Hartono menegaskan bahwa pihak Yayasan sama sekali tidak menentukan tarif berobat, semuanya sukarela, atau lebih tepatnya pasien tetap diterima walau keluarga tidak mampu membayar.
Gendu berserta stafnya melakukan lima metode pengobatan para pasiennya yang terdiri dari do’a, pitua (petuah/nasihat), ramuan, urut atau pemijatan. Selain dari meteode tersebut kadang Hartono dan staf lainnya mengajak mereka untuk bernyanyi bersama atau melakukan tugas2 keseharian seperti kerja bakti di lingkungan tempat mereka berada. Dengan metode2 tersebut sudah tidak terhitung pasien yang berhasil disembuhkan dan dikembalikan ke masyarakat. “Adalah kebahagaian yang tak terperi manakala melihat kesembuhan pasien dan bertemu kebali dengan keluarganya. Sesekali ada diantara mereka yang berkunjung ke sini untuk mengucapkan terima kasih” ujar Hartono.
Lalu dari mana biaya untu operasional sehari-hari ? Menurutnya, sebagian besar biaya ditanggung oleh para donatur yang datang seperti kelompok ibu2 pengajian hingga para biker. Pemerintah pun memberikan bantuan terutama dari Dinas Sosial Kota Bekasi. Gendu berwanti-wanti agar pengurus tidak meminta-minta bantuan kepada pihak siapapun karena menurutnya kita harus menjalankan prinsip kesabaran, kejujuran, kerendahan hati, dan murah hati dalam menjalankan organisasi ini.
Sebagai catatan mereka menanak nasi sebanyak 150kg per hari beserta satu mobil terbuka sayur2an yang semuanya di masak di dapur umum. Yayasan dibantu oleh 60 orang staf, 15 di antaranya adalah mantan pasien, kesemuanya bekerja secara sukarela tanpa pamrih dengan sangu sekedarnya. “Di luar saya mungkin bisa mendapatkan gaji lebih besar dari di sini, tapi kebahagian yang saya rasakan tidak bisa diukur dengan uang” kata salah seorang juru masak dan staf lainnya kalau ditanya alasan mereka berada di tengah para pesakitan.
Para staf di sini seperti Hartono mungkin tidak mempunyai gelar akademis dibidang psikiatri, tapi berkat pengalamannya yang panjang ia pernah diminta menjadi pembicara dalam sebuah seminar nasional mengenai masalah kejiwaan yang dihadiri oleh para ahli masalah kejiwaan. Setahun sekali sejumlah pasien dibawa untuk memeriahkan kegiatan Agustusan di tingkat kota Bekasi dalam sebuah pawai. Lain kali para pasien diminta berlatih upacara bendera masih dalam rangka acara Agustusan. Saat berlatih keadaan malah menjadi semrawut, tapi anehnya saat upacara semua berjalan lancar. Beberapa pasien malah sembuh dan mulai mengingat kembali kejadian masa lalu yang sebelumnya tersembunyi dalam alam bawah sadar mereka.
Mesjid di atas adalah hasil gotong royong para pasien sebagai salah satu bentuk metode penyembuhan. “Mereka semua dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari karena kami menganggap mereka manusia normal. Petuah Pak gendu selalu kami ingat dan digunakan untuk proses kesembuhan pasien di sini : “Hati yang gembira adalah obat”.
Masih banyak kita yang memberikan stigma negatif “orang gila” sebatas yang punya prilaku tanpa busana dan bernampilan kotor di pinggir jalan. “Kegilaan” dekat dengan diri kita tanpa disadari : phobia, insomnia, ketakutan berlebihan, putus asa, stress, kecemasan adalah fenomena2 kejiwaan. Pernah kan mengalaminya ?
catatan: untuk saat ini Yayasan Galuh membutuhkan uluran tangan anda. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai Yayasan Galuh tentang pasien, lokasi, dan lain-lain, bisa langsung menghubungi nomor ini 0817184336/02133622559. Terima kasih.
sumber: mypotret
Foto-Foto: Yayasan Galuh:
■ Moderator : Sering Buka | Semua Bisa Menulis Apa Saja
No comments:
Post a Comment
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi seringbuka.com. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
seringbuka.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.