Hot News

Single Parent: Bahagia atau Tidak?

Foto: Istimewa. 


Menjadi seorang single parent memang tak mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Mulai dari memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan buah hati, sekaligus menjadi seorang figur yang dibutuhkan sang anak. Belum lagi tuntutan keluarga yang terkadang memaksa untuk mencari pasangan hidup baru, ditambah lingkungan sosial yang memandang sebelah mata. Tengok saja, Siti (25 tahun) yang harus menyandang status single parent padahal baru 1 tahun menikah. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap dan memiliki hak asuh atas bayi perempuan yang baru berusia 7 bulan. Siti hidup di sebuah perkampungan padat penduduk di pinggir kota Jakarta. Suaminya (25 tahun) merupakan seorang pengangguran dan tidak bertanggung jawab atas kehidupan Siti.

Siti merasa nasibnya sangat menderita. Empat puluh lima persen dari kesehariannya, dihabiskan dengan meratapi nasib. Ia berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan anak dan dirinya sendiri dari pekerjaan tidak tetapnya sebagai seorang asisten rumah tangga di pagi sampai sore hari. Di malam hari, ia kembali meraup rupiah menjadi seorang penjaga warung kelontong. Menurut Siti, penyesalan memang datang terlambat. Ia berusaha sepenuh hati melanjutkan hidup dan bertahan di antara cemohan para tetangga.

Sedangkan, Ida (30 tahun) menjadi seorang single parent setelah menikah selama tiga tahun. Ia menikah karena desakan keluarga. Ida memiliki pekerjaan mapan sebagai seorang Manager Marketing di sebuah perusahaan multi nasional. Mantan suaminya bekerja sebagai Manager Operasional yang bergerak di bidang Food&Beverage. Mereka mempunyai satu orang anak perempuan berusia dua tahun dan tinggal bersama Ida. Berbeda dengan Siti, Ida terlihat happy setelah memutuskan untuk bercerai. Meskipun sempat merasakan kecewa dan menyisakan luka atas perpisahan yang harus terjadi, namun ia berusaha berlapang dada. Setelah lewat satu tahun berpisah, Ida mulai menerima keadaan dan merasa lebih bahagia. Hidupnya tak lagi dipenuhi dengan berbagai keributan yang menguras tenaga. Ia tak terlalu peduli dengan tanggapan banyak orang mengenai kesendiriannya. Walau pernah gagal, ia percaya segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupannya tidak terjadi secara kebetulan. Prinsipnya, hidup hanya sekali, maka nikmati dan syukuri.

Melihat kedua kisah singkat di atas, menjadi seorang single parent memang bukan tujuan hidup bagi siapapun. Banyak yang mengatakan kondisi demikian merupakan korban dari ketidaksiapan mental pasangan sebelum menikah. Tetapi, tidak menutup kemungkinan single parent merupakan sebuah pilihan hidup dari pernikahan. Apakah ingin mempertahankan dengan keadaan yang tidak berubah, memperbaiki menuju hubungan yang lebih baik atau merelakan sebuah komitmen pernikahan menuju perpisahan? Pada akhirnya, apapun yang dipilih memiliki konsekuensinya masing-masing. Ada yang menjadi sangat tidak bahagia ketika harus menyandang status sebagai orang tua tunggal. Ada yang justru merasa lebih bahagia ketika mengalami perceraian dan menjadi seorang single fighter. Bahagia atau tidak? Itu pilihan!


 oleh: Widi



■ Moderator : Sering Buka | Semua Bisa Menulis Apa Saja

1 comment:

Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi seringbuka.com. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.


seringbuka.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.

Sering Buka Designed by Templateism.com Copyright © 2016

Powered by Blogger.